Kelas Menulis PGRI (3): Menulis Untuk Bela Diri
07 Maret 2020
15 Komentar
sumber gambar: Freepik |
Pelatihan menulis online hari ketiga pada 6 Maret
2020. Pak Dudung Nurulah Koswara bertindak sebagai narasumber. Topik yang
dibahas yaitu Menulis adalah bela diri.
Jika kita mendengar kata bela diri, tentu pikiran
kita terhubung dengan olahraga-olahraga bela diri seperti pencak silat,
taekwondo, maupun karate. Olahraga tersebut berguna jika kita menghadapi tindak
kejahatan dari orang lain dan mendapat serangan secara fisik.
Namun di era digital sekarang ini, banyak kejadian
yang diberitakan dalam bentuk tulisan, gambar, maupun video yang berlalu-lalang
di internet. Sekarang informasi apapun mudah sekali menjadi viral. Terkadang
informasi tersebut “menyerang” pribadi/golongan kita. Orang lain akan
menjatuhkan atau memandang buruk.
Lalu jika menghadapi serangan secara digital
seperti itu bagaimana menghadapinya ? Salah satu caranya adalah menulis.
Awalnya Pak Dudung menyampaikan tiga alasan menulis
menurut beliau. Pertama menulis itu mengalirkan perspektif kita tentang
sesuatu. Mengasah artikulasi tentang
suatu hal. Menulis tidak harus baik
namun setidaknya kita dapat melihat sejauh mana kebodohan bahkan potensi kita
dalam menulis. Narasi yang kita tulis adalah cermin literatif kita.
Kedua menulis itu bisa menjadi ekspresi perlawanan
kita tentang sesuatu yang menurut kita tak adil atau ada ketidakadilan. Penulis adalah ksatria pembela
kebenaran, pedangnya adalah pena atau
jari kita.
Ketiga menulis itu narsis literatif. Kalau kita
hanya selfie saja semua orang juga bisa.
Anak SD juga ahli, namun menulis itu sangat seksi, mengapa?
Karena menulis itu hal yang gampang tapi dianggap sulit. Ini anggapan
sesat yang menyebabkan ribuan orang tak menulis.
Dari tiga alasan tersebut, Pak Dudung memberi
contoh alasan kedua dan menjadi topik utama pertemuan ini yaitu menulis untuk
bela diri . Beliau menulis opini dengan judul Guru Bukan Begal Motor. Tulisan
tersebut tentu terkait dengan pembotakkan guru-guru yang menjadi tersangka
kasus “susur sungai”. Intinya beliau tidak setuju dengan tindakan pembotakkan
tersebut karena merendahkan martabat guru. Pak Dudung menjelaskan bahwa tulisan
itu memanfaatkan momentum dan emosi kehormatan guru.
Tentu itu tulisan yang berani sekali apalagi dimuat
di koran. Tulisan tersebut pun viral. Pak dudung mengakui siap dihujat para
pembela keluarga korban. Beliau memberi tips dalam menghadapi konsekuensi
menulis yang mengundang ketersinggungan.
Pertama cara menerimanya yaitu kalau ada yang tidak
suka, atau tersinggung, itu bagus. Artinya sudah mulai ada konsumen. Kedua, selama
tidak SARA dan menghina personal plus data lengkap, maju terus pantang mundur. Ketiga, mengubah
diksi atau narasi lebih umum, jangan terlalu personal.
mantap om. keren tulisannya.
BalasHapusTerimakasih Om Heru hehe
Hapusmantap om. keren tulisannya.
BalasHapusIni sih bahasanya keren bgt, Pak. Sangat rapi. Lanjutkan !
BalasHapusDilihat dari mana Bu ? Kayaknya saya nulis sekenanya aja. Lebih lengkap tulisan Bu Tere hehe
HapusMantap pak. Tulisannya keren
BalasHapusTerimakasih pak 😊
HapusMantap pak brian,,,,saya suka warna blognya rapi,,, semangat 💪
BalasHapusTerimakasih pak. Saya berusaha tampilan blog seminimalis mungkin. Yang penting mendukung untuk kenyamanan membaca artikel nya
HapusKerennn abis
BalasHapusTerimakasih Bu 😊
HapusWuih... tampilan blog sama dg hasil tulisannya bagus sekali.
BalasHapusTerimakasih Bu 😊
HapusMantabz pak Brian...salam kenal agung pramono dan tolong kunjungi blog saya pak kekurangannya apa agungpramono780.blogspot.com
BalasHapusSalam kenal pak. Oke saya sudah lihat dan komentar di blog bapak
Hapus